Pada zaman dahulu kala hiduplah pengukir dan pelukis pada zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan
Majapahit, Jawa Timur. Pengukir itu bernama Prabangkara atau disebut juga
dengan Joko Sungging. Raja Brawijaya ingin mempunyai lukisan istrinya dalam
keadaan tanpa busana. Ini wujud rasa cinta sang raja. Dipanggillah ahli ukir
dan lukis Prabangkara itu untuk mewujudkan keinginan Raja. Prabangkara
mendapatkan tugas yang mustahil: melukis istri raja tanpa busana tetapi tidak
boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana. Harus melalui imajinasi
saja. Prabangkara melaksanakan tugas tersebut. Dan selesai tugasnya dengan
sempurna. Tiba-tiba seekor cecak buang tinja dan mengenai lukisan tersebut.
Sehingga lukisan permaisuri tersebut punya tahi lalat. Raja gembira dengan
hasil karya Prabangkara tersebut. Dilihatnya dengan detail gambar lukisan
tersebut. Dan begitu dia melihat tahi lalat. Raja murka. Dia menuduh
Prabangkara melihat langsung permaisuri tanpa busana. Karena lokasi tahi lalat
persis seperti kenyataan. Raja cemburu dan menghukum Prabangkara dengan
mengikatnya di layang-layang, kemudian menerbangkannya. Layang-layang itu
terbang hingga ke Belakang Gunung di Jepara dan mendarat di Belakang Gunung
itu. Belakang Gunung itu kini bernama Mulyoharjo di Jepara. Kemudian
Prabangkara mengajarkan ilmu mengukir kepada warga Jepara pada waktu itu dan
kemahiran ukir warga Jepara bertahan dan lestari hingga sekarang.
Ya itulah Riwayat tentang ukiran Mebel Jepara. Menarik untuk
didengar. Mungkin juga memberi inspirasi bagi ide layang-layang berawak
manusia. Mungkin berlebih-lebihan, bagaimana layang layang terbang dari
Majapahit – Jawa Timur hingga ke Jepara Jawa Tengah? Apakah itu story atau
history? Kayaknya banyak yang story deh.
Ada riwayat lain tentang furniture Jepara. Yang ini ada
bukti otentik berupa artefak peninggalan zaman Ratu Kalinyamat di Masjid
Mantingan.
Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada masa Pemerintahan Ratu
Kalinyamat (1521-1546) pada 1549. Sang Ratu mempunyai anak perempuan bernama
Retno Kencono yang besar peranannya bagi perkembangan seni ukir. Di kerajaan,
ada mentri bernama Sungging Badarduwung, yang datang dari Campa (Cambodia) dan
dia adalah seorang pengukir yang baik.
Ratu membangun Masjid Mantingan dan Makam Jirat (makam untuk suaminya)
dan meminta kepada Sungging untuk
memperindah bangunan itu dengan ukiran. Sampai sekarang, ukiran itu bisa
disaksikan di masjid dan Makam Sultan Hadlirin. Terdapat 114 relief pada batu
putih. Pada waktu itu, Sungging memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat.
Daerah Belakang Gunung konon
terdapat kelompok ukir yang bertugas melayani kebutuhan ukir keluarga
kerajaan. Kelompok ukir itu kemudian mengembangkan bakatnya dan tetangga
sekitar ikut belajar dari mereka. Jumlah pengukir tambah banyak. Pada masa Ratu
Kalinyamat kelompok mereka berkembang. Tetapi sepeninggal Ratu Kalinyamat
mereka stagnan. Berkembang lagi pada masa Kartini.
RA Kartini berperan dalam perkembangan ukir furniture Jepara
dengan memberikan pendampingan bagaimana membuat produk ukir yang disukai
pasar. Kartini menekankan pentingnya desain. Dia mengumpulkan pengrajin ukir,
memberi modal dan memasarkan produk mereka ke Batavia, Semarang dan Negeri
Belanda. Dalam pengembangan desain, RA Kartini menggugah pengrajin ukir untuk
berpikir tentang aspek fungsional dari produk. Sehingga mereka menerapkan
ukiran kepada benda- benda mebel yang fungsional bagi rumah tangga. Pada tanggal 1 Juli 1929, Kartini mendirikan
sekolah ukir bernama “Openbare Ambachtschool”. Pemerintah Jepara mendirikan perusahaan milik
komunitas “Jepara’s Houtsnijwerk En Meubelmaker”. (Local Clusters in Global
Value Chains, Roos Kities Andadari), Tetapi perusahaan ini gulung tikar setelah
beberapa tahun kemudian. Walaupun demikian, kemahiran ukir Jepara tidak hilang
dengan gulung tikarnya lembaga tersebut. Kemahiran ukir warga Jepara diwariskan
turun-temurun tanpa tergantung pada perusahaan maupun. Tetapi bukan berarti
perusahaan dan sekolah tidak penting. Sekolah dan perusahaan itu pupuk bagi
hobi mengukir pengrajin Jepara.
Pada tahun 1970, ukir Furniture Jepara dikenal secara
domestik. Perkembangannya tidak banyak, cukup untuk membuat pengrajin Jepara bertahan.
Pada tahun 1981, Pemerintah Daerah Jepara punya inisiatif
untuk belajar ekspor ke Bali. Bali sudah berpengalaman ekspor. Jepara belum
pernah ekspor. Jepara masih tergolong daerah miskin di Jawa Tengah. Tiga tahun
kemudian, mulai ada beberapa perusahaan yang melakukan ekspor.
Yang tidak tercatat adalah penjualan lokal. Walaupun eksporfurniture Jepara menurun, pengrajin dan pengusaha Jepara masih bertahan. Hal
ini karena masih ada penjualan lokal ke Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi,
Kalimantan. Itulah beberapa ulasan tentang Sejarah Furniture Jepara.
Tagged in: mebel ukir jepara diciptakan dengan teknik , mebel ukir jepara murah , ukiran mebel jepara , mebel ukir solikhin jepara , mebel ukiran jati jepara , toko mebel ukiran jepara , fungsi mebel ukir jepara adalah , gambar mebel ukiran jepara , harga mebel ukiran jepara , industri mebel ukiran di jepara membutuhkan bahan baku , mebel ukir jepara 42 , mebel ukir jepara di surabaya , mebel ukir jepara diciptakan dengan teknik apa , mebel ukiran di jepara , toko mebel ukir jepara di jakarta , toko mebel ukiran jepara di bandung , ukir mebel jepara